Kamis, 23 April 2015

Kebudayaan Sunda di Indonesia

Kebudayaan Sunda termasuk salah satu kebudayaan suku bangsa di Indonesia yang berusia tua. Bahkan, dibandingkan dengan kebudayaan Jawa sekalipun, kebudayaan Sunda sebenarnya termasuk kebudayaan yang berusia relatif lebih tua, setidaknya dalam hal pengenalan terhadap budaya tulis. "Kegemilangan" kebudayaan Sunda di masa lalu, khususnya semasa Kerajaan Tarumanegara dan Kerajaan Sunda, dalam perkembangannya kemudian seringkali dijadikan acuan dalam memetakan apa yang dinamakan kebudayaan Sunda.

Kebudayaan Sunda yang ideal pun kemudian sering dikaitkan sebagai kebudayaan raja-raja Sunda atau tokoh yang diidentikkan dengan raja Sunda. Dalam kaitan ini, jadilah sosok Prabu Siliwangi dijadikan sebagai tokoh panutan dan kebanggaan urang Sunda karena dimitoskan sebagai raja Sunda yang berhasil, sekaligus mampu memberikan kesejahteraan kepada rakyatnya.
Sunda berasal dari kata Su = Bagus/ Baik, segala sesuatu yang mengandung unsur kebaikan, orang Sunda diyakini memiliki etos/ watak/ karakter Kasundaan sebagai jalan menuju keutamaan hidup. Watak / karakter Sunda yang dimaksud adalah cageur (sehat), bageur (baik), bener (benar), singer (mawas diri), dan pinter (pandai/ cerdas) yang sudah dijalankan sejak jaman Salaka Nagara sampai ke Pakuan Pajajaran, telah membawa kemakmuran dan kesejahteraan lebih dari 1000 tahun.

Sunda merupakan kebudayaan masyarakat yang tinggal di wilayah barat pulau Jawa namun dengan berjalannya waktu telah tersebar ke berbagai penjuru dunia. Sebagai suatu suku, bangsa Sunda merupakan cikal bakal berdirinya peradaban di Nusantara, di mulai dengan berdirinya kerajaan tertua di Indonesia, yakni Kerajaan Salakanagara dan Tarumanegara. Sejak dari awal hingga kini, budaya Sunda terbentuk sebagai satu budaya luhur di Indonesia. Namun, modernisasi dan masuknya budaya barat lambat laun mengikis keluhuran budaya Sunda, yang membentuk etos dan watak manusia Sunda.

Makna kata Sunda sangat luhur, yakni cahaya, cemerlang, putih, atau bersih. Makna kata Sunda itu tidak hanya ditampilkan dalam penampilan, tapi juga didalami dalam hati. Karena itu, orang Sunda yang 'nyunda' perlu memiliki hati yang luhur pula. Itulah yang perlu dipahami bila mencintai, sekaligus bangga terhadap budaya Sunda yang dimilikinya.

Setiap bangsa memiliki etos, kultur, dan budaya yang berbeda. Namun tidaklah heran jika ada bangsa yang berhasrat menanamkan etos budayanya kepada bangsa lain. Karena beranggapan, bahwa etos dan kultur budaya memiliki kelebihan. Kecenderungan ini terlihat pada etos dan kultur budaya bangsa kita, karena dalam beberapa dekade telah terimbas oleh budaya bangsa lain. Arus modernisasi menggempur budaya nasional yang menjadi jati diri bangsa. Budaya nasional kini terlihat sangat kuno, bahkan ada generasi muda yang malu mempelajarinya. Kemampuan menguasai kesenian tradisional dianggap tak bermanfaat. Rasa bangsa kian terkikis, karena budaya bangsa lain lebih terlihat menyilaukan. Kondisi memprihatinkan ini juga terjadi pada budaya Sunda, sehingga orang Sunda kehilangan jati dirinya.

Untuk menghadapi keterpurukan kebudayaan Sunda, ada baiknya kita melangkah ke belakang dulu. Mempelajari, dan mengumpulkan pasir mutiara yang berserakan selama ini. Banyak petuah bijak dan khazanah ucapan nenek moyang jadi berkarat, akibat tidak pernah tersentuh pemiliknya. Hal ini disebabkan keengganan untuk mempelajari dengan seksama, bahkan mereka beranggapan ketinggalan zaman. Bila dipelajari, sebenarnya pancaran etika moral Sunda memiliki khazanah hikmah yang luar biasa. Hal itu terproyeksikan lewat tradisinya. Karena itu, marilah kita kenali kembali, dan menguak beberapa butir peninggalan nenek moyang Sunda yang hampir.

Ada beberapa etos atau watak dalam budaya Sunda tentang satu jalan menuju keutamaan hidup. Selain itu, etos dan watak Sunda juga dapat menjadi bekal keselamatan dalam mengarungi kehidupan di dunia ini. Etos dan watak Sunda itu ada lima, yakni cageur, bageur, bener, singer, dan pinter yang sudah lahir sekitar jaman Salakanagara dan Tarumanagara. Ada bentuk lain ucapan sesepuh Sunda yang lahir pada abad tersebut. Lima kata itu diyakini mampu menghadapi keterpurukan akibat penjajahan pada zaman itu. Coba kita resapi pelita kehidupan lewat lima kata itu. Semua ini sebagai dasar utama urang Sunda yang hidupnya harus 'nyunda', termasuk para pemimpin bangsa.

Cara meresapinya dengan memahami artinya. Cageur, yakni harus sehat jasmani dan rohani, sehat berpikir, sehat berpendapat, sehat lahir dan batin, sehat moral, sehat berbuat dan bertindak, sehat berprasangka atau menjauhkan sifat suudzonisme. Bageur yaitu baik hati, sayang kepada sesama, banyak memberi pendapat dan kaidah moril terpuji ataupun materi, tidak pelit, tidak emosional, baik hati, penolong dan ikhlas menjalankan serta mengamalkan, bukan hanya dibaca atau diucapkan saja. Bener yaitu tidak bohong, tidak asal-asalan dalam mengerjakan tugas pekerjaan, amanah, lurus menjalankan agama, benar dalam memimpin, berdagang, tidak memalsu atau mengurangi timbangan, dan tidak merusak alam. Singer, yaitu penuh mawas diri bukan was-was, mengerti pada setiap tugas, mendahulukan orang lain sebelum pribadi, pandai menghargai pendapat yang lain, penuh kasih sayang, tidak cepat marah jika dikritik tetapi diresapi makna esensinya. Pinter, yaitu pandai ilmu dunia dan akhirat, mengerti ilmu agama sampai ke dasarnya, luas jangkauan ilmu dunia dan akhirat walau berbeda keyakinan, pandai menyesuaikan diri dengan sesama, pandai mengemukakan dan membereskan masalah pelik dengan bijaksana, dan tidak merasa pintar sendiri sambil menyudutkan orang lain.

Suku Sunda merupaka suku yang terdapat di Provinsi Jawa Barat. Suku sunda adalah salah satu suku yang memiliki berbagai kebudayaan daerah, diantaranya pakaian tradisional, kesenian tradisional, bahasa daerah, dan lain sebagainya.

Diantara sekian banyak kebudayaan daerah yang dimiliki oleh suku sunda adalah sebagai berikut :

1. Pakaian Adat/Khas jawa Barat
Suku sunda mempunyai pakaian adat/tradisional yang sangat terkenal, yaitu kebaya. Kebaya merupakan pakaian khas Jawa Barat yang sangat terkenal, sehingga kini kebaya bukan hanya menjadi pakaian khas sunda saja tetapi sudah menjadi pakaian adat nasinal. Itu merupakan suatu bukti bahwa kebudayaan daerah merupakan bagian dari kebudayaan nasional.

2. Kesenian Khas Jawa Barat

a. Wayang Golek
Wayang Golek merupakan kesenian tradisional dari Jawa Barat yaitu kesenian yang menapilkan dan membawakan alur sebuah cerita yang bersejarah. Wayang Golek ini menampilkan golek yaitu semacam boneka yang terbuat dari kayu yang memerankan tokoh tertentu dalam cerita pawayangan serta dimainkan oleh seorang Dalang dan diiringi oleh nyanyian serta iringan musik tradisional Jawa Barat yang disebut dengan degung.

b. Jaipong
Jaipong merupakan tarian tradisional dari Jawa Barat, yang biasanya menampilkan penari dengan menggunakan pakaian khas Jawa Barat yang disebut kebaya, serta diiringi musik tradisional Jawa Bart yang disebut Musik Jaipong.
Jaipong ini biasanya dimainkan oleh satu orang atau sekelompok penari yang menarikan berakan – gerakan khas tari jaipong.

c. Degung
Degung merupakan sebuah kesenian sunda yang biasany dimainkan pada acara hajatan. Kesenian degung ini digunakan sebagai musik pengiring/pengantar.
Degung ini merupakan gabungan dari peralatan musik khas Jawa Barat yaitu, gendang, goong, kempul, saron, bonang, kacapi, suling, rebab, dan sebagainya.
Degung merupakan salah-satu kesenian yang paling populer di Jawa Barat, karena iringan musik degung ini selalu digunakan dalam setiap acara hajatan yang masih menganut adat tradisional, selain itu musik degung juga digunakan sebgai musik pengiring hampir pada setiap pertunjukan seni tradisional Jawa Barat lainnya.

d. Rampak Gendang
Rampak Gendang merupakan kesenian yang berasal dari Jawa Barat. Rampak Gendang ini adalah pemainan menabuh gendang secara bersama-sama dengan menggunakan irama tertentu serta menggunakan cara-cara tertentu untuk melakukannya, pada umumnya dimainkan oleh lebih dari empat orang yang telah mempunyai keahlian khusus dalam menabuh gendang. Biasanya rampak gendang ini diadakan pada acara pesta atau pada acara ritual.

e. Calung
Di daerah Jawa Barat terdapat kesenian yang disebut Calung, calung ini adalah kesenian yang dibawakan dengan cara memukul/mengetuk bambu yang telah dipotong dan dibentuk sedemikian rupa dengan pemukul/pentungan kecil sehingga menghasilkan nada-nada yang khas.
Biasanya calung ini ditampilkan dengan dibawakan oleh 5 orang atau lebih. Calung ini biasanya digunakan sebagai pengiring nyanyian sunda atau pengiring dalam lawakan.


f. Pencak Silat
Pencak silat merupakan kesenian yang berasal dari daerah Jawa Barat, yang kini sudah menjadi kesenian Nasional.
Pada awalnya pencak Silat ini merupakan tarian yang menggunakan gerakan tertentu yang gerakannya itu mirip dengan gerakan bela diri. Pada umumnya pencak silat ini dibawakan oleh dua orang atau lebih, dengan memakai pakaian yang serba hitam, menggunakan ikat pinggang dari bahan kain yang diikatkan dipinggang, serta memakai ikat kepala dari bahan kain yang orang sunda menyebutnya Iket.
Pada umumnya kesenian pencaksilat ini ditampilkan dengan diiringi oleh musik yang disebut gendang penca, yaitu musik pengiring yang alat musiknya menggunakan gendang dan terompet.

g. Sisingaan
Sisingaan merupakan kesenian yang berasal dari daerah Subang Jawa barat. Kesenian ini ditampilkan dengan cara menggotong patung yang berbentuk seperti singa yang ditunggangi oleh anak kecil dan digotong oleh empat orang serta diiringi oleh tabuhan gendang dan terompet. Kesenian ini biasanya ditampilkan pada acara peringatan hari-hari bersejarah.

h. Kuda Lumping
Kuda Lumping merupakan kesenian yang beda dari yang lain, karena dimainkan dengan cara mengundang roh halus sehingga orang yang akan memainkannya seperti kesurupan. Kesenian ini dimainkan dengan cara orang yang sudah kesurupan itu menunggangi kayu yang dibentuk seperti kuda serta diringi dengan tabuhan gendang dan terompet. Keanehan kesenian ini adalah orang yang memerankannya akan mampu memakan kaca serta rumput. Selain itu orang yang memerankannya akan dicambuk seperti halnya menyambuk kuda. Biasanya kesenian ini dipimpin oleh seorang pawang.
Kesenian ini merupakan kesenian yang dalam memainkannya membutuhkan keahlian yang sangat husus, karena merupakan kesenian yang cukup berbahaya.

i. Bajidoran
Bajidoran merupakan sebuah kesenian yang dalam memainkannya hampir sama dengan permainan musik modern, cuma lagu yang dialunkan merupakan lagu tradisional atau lagu daerah Jawa Barat serta alat-alat musik yang digunakannya adalah alat-alat musik tradisional Jawa Barat seperti Gendang, Goong, Saron, Bonang, Kacapi, Rebab, Jenglong serta Terompet.
Bajidoran ini biasanya ditampilkan dalam sebuah panggung dalam acara pementasan atau acara pesta.

j. Cianjuran
Cianjuran merupakan kesenian khas Jawa Barat. Kesenian ini menampilkan nyanyian yang dibawakan oleh seorang penyanyi, lagu yang dibawakannya pun merupakan lagu khas Jawa Barat. Masyarakat Jawa Barat memberikan nama lain untuk nyanyian Cianjuran ini yaitu Mamaos yang artinya bernyanyi.

k. Kacapi Suling
Kacapi suling adalah kesenian yang berasal dari daerah Jawa Barat, yaitu permainan alat musik tradisional yang hanya menggunakan Kacapi dan Suling. Kacapi suling ini biasanya digunakan untuk mengiringi nyanyian sunda yang pada umumnya nyanyian atau lagunya dibawakan oleh seorang penyanyi perempuan, yang dalam bahasa sunda disebut Sinden.

l. Reog
Di daerah Jawa Barat terdapat kesenian yang disebut Reog, kesenian ini pada umumnya ditampilkan dengan bodoran, serta diiringi dengan musik tradisional yang disebut Calung. Kesenian ini biasanya dimainkan oleh beberapa orang yang mempunyai bakat melawak dan berbakat seni. Kesenian ini ditampilkan dengan membawakan sebuah alur cerita yang kebanyakan cerita yang dibawakan adalah cerita lucu atau lelucon.

C.Benarkah Budaya Sunda Telah Terpuruk?

Pada zaman modern, tantangan serius yang menerjang daya tahan entitas kebudayaan, terutama kebudayaan lokal, seperti kebudayaan Sunda, adalah modernisasi dan globalisasi.

Selain kemampuan merespons tantangan zaman, kelangsungan kebudayaan juga sangat ditentukan fungsinya terhadap masyarakat. Dalam modernisasi yang makin gencar serta globalisasi yang makin kuat dan meraksasa, kebudayaan Sunda menghadapi problem yang sangat berat, yaitu terseret ke dalam kepunahan.

Sudah menjadi cerita lama bahwa bahasa Sunda adalah salah satu pelajaran yang tidak menarik dan dianggap kurang penting bagi para siswa. Minat siswa dan generasi muda pada umumnya terus berkurang. Karena problematika ini sudah muncul selama beberapa generasi, yang dirasakan kini adalah semakin langkanya guru bahasa Sunda yang memenuhi kualifikasi. Jumlah sastrawan Sunda, apalagi, sangat sedikit.

Di daerah urban, lingkungan masyarakat terdidik dan kelas menengah Jawa Barat, dewasa ini tumbuh subur desundanisasi bahasa, yaitu tren keluarga muda Sunda modern tidak menggunakan basa Sunda sebagai bahasa pengantar di lingkungan rumah dan keluarganya. Keluarga Sunda modern tidak berbahasa Sunda kepada anak-anaknya dan anak-anakya tidak berbahasa Sunda kepada teman-teman mereka. Mereka lebih memilih bahasa Indonesia yang dirasa lebih modern.

Di kalangan keluarga muda, ibu dan bapaknya menerapkan panggilan diri bagi anak-anaknya dengan papih-mamih, papa-mama, atau ayah-ibu. Tentu saja panggilan itu lebih bernuansa modern ketimbang abah-ambu, emih-apih, atau bapa-ema. Penggunaan basa Sunda, terutama yang halus, semakin lama semakin berkurang. Pada lingkungan pergaulan tertentu, seperti di hotel, kantor, pertemuan resmi, pesta, dan pertemuan elite lain, berbahasa Sunda cenderung dirasa kurang modern. Demikian juga di pusat-pusat perbelanjaan.

Sadar Sunda

Kita membutuhkan program besar, yaitu program sadar Sunda di masyarakat Jabar. Proses “kepunahan” bahasa Sunda ini selalu dialamatkan pada struktur basa Sunda yang feodal. Undak usuk basa Sunda dinilai sangat struktural, birokratis, dan feodal sehingga sulit dikuasai orang Sunda dari zaman ke zaman, apalagi oleh generasi muda yang terdidik dalam lingkungan pendidikan modern.

Undak usuk dirasa berseberangan dengan arus demokratisasi dan egalitarianisasi masyarakat. Sopan santun sebagai etika tentu saja harus tetap dipelihara, tetapi tidak dibingkai dan distrukturkan dalam semangat feodal. Inilah tugas besar yang mesti dipikirkan para inohong Sunda.

Pada aspek lain, kondisi kebudayaan Sunda yang memprihatinkan ditemukan pada sangat sedikitnya historiografi Sunda, baik yang ditulis orang Sunda sendiri, apalagi sejarawan asing, terutama bila dibandingkan dengan Jawa. Tampaknya eksistensi kebudayaan Sunda yang “kalah” ini kurang menarik minat sejarawan, terutama sejarawan asing, untuk mengungkap sejarah Sunda, seperti ketertarikan mereka yang luar biasa pada sejarah Jawa.

Dalam studi sejarah dan kebudayaan Jawa dikenal nama-nama kondang seperti Raffles, CC Berg, HJ De Graaf, Pigeaud, Teeuw, Ben Anderson, Emmerson, dan Clifford Geertz yang telah melahirkan karya-karya masterpiece tentang Jawa. Karya-karya mereka kini telah menjadi klasik. Literatur akademik tentang Jawa berbeda dengan Sunda, sangat banyak dan mudah didapat. Sekarang, syukur muncul Penerbit Kiblat yang banyak menerbitkan buku Sunda, tetapi masih didominasi karya sastra. Kajian akademik masih sulit ditemukan.

Miskinnya historiografi Sunda mengandung pesan historis bahwa sumbangan kelompok etnis ini pada sejarah dan kebudayaan nasional seolah kecil. Istilah kenegaraan yang diabadikan menjadi istilah nasional resmi, seperti pancasila, negara, bina graha, eka prasetya pancakarsa, sapta marga, istana, tut wuri handayani, dan tri dharma, dipandang sebagai sumbangan konsep Jawa dalam kebudayaan politik nasional.

Sistem politik Orde Lama, Orde Baru, dan Pancasila yang dibangun atas faham “kekuasaan Jawa” juga menunjukkan sumbangan besar Jawa dalam pemikiran sistem politik kenegaraan Indonesia. Hal ini masih ditambah dengan kuantitas orang Jawa yang menjadi pemimpin nasional dibandingkan dengan orang Sunda.

Bila selama ini ada beberapa pernyataan optimistis dari para juragan dan inohong Sunda bahwa kebudayaan Sunda akan bertahan di tengah globalisasi, yang dimaksud sebetulnya adalah masih ada “sisa-sisa” kebudayaan Sunda. Hal itu terlihat pada acara tertentu atau pada usaha mempertahankan budaya lewat pertunjukan formal; acara televisi; atau rembukan formal tentang seni, sastra, dan kebudayaan Sunda. Hal itu sangat berbeda dengan kebudayaan aktual, yaitu nilai, pandangan hidup, identitas budaya, dan gaya hidup di tengah masyarakat.

Desundanisasi

Dari ulasan tersebut tampak bahwa kebudayaan Sunda tengah mengalami desundanisasi yang dahsyat. Proses ini tidak mustahil akan berakibat pada punahnya kebudayaan Sunda pada masa mendatang. Kepunahan ini bakal terjadi bila kebudayaan Sunda semakin kehilangan fungsinya di tengah masyarakat Sunda kontemporer. Kehilangan fungsi budaya ini ditunjukkan oleh sikap dan kenyataan bahwa generasi muda Sunda merasa sudah tidak perlu ber-Sunda pada zaman modern ini.

Sebab, dari perspektif Toynbee-an, kebudayaan Sunda telah kehilangan elan vital dan daya respons atas tantangan yang dimunculkan oleh modernisasi dan globalisasi. Secara fisik urang Sunda tentu akan tetap menghuni kawasan yang disebut Jabar ini, tetapi secara kultur terus tergerus ke “selokan-selokan” kebudayaan. Kepunahan budaya bukan hal yang mustahil. Maka, tugas para inohong, pemikir, pemerintah, dan elite Sunda adalah memikirkan strategi budaya agar kebudayaan Sunda tetap bertahan dalam arus perubahan dan tetap identik dengan kemajuan dan kemodernan.
Sebagai upaya melestarikan kebudayaan Sunda di Jawa Barat, Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) menerbitkan majalah Cahara Bumi Siliwangi. Majalah ini diharapkan menjadi sarana pengembangan budaya daerah, khususnya bahasa Sunda.

"Kami akan terus merancang program yang bertujuan mengangkat budaya Sunda di lingkungan Jabar dan majalah adalah media yang kita gunakan untuk mengomunikasikan bahasa Sunda, khususnya dalam lingkup pendidikan," jelas Rektor UPI, Prof. Dr. H. Sunaryo Kartadinata, M.Pd. di acara "Pinton Seni Riksa Budaya Sunda dan Launching Majalah Sunda" di Buruan Gedung Bumi Siliwangi..

Dikatakannya, UPI sebagai universitas pendidikan merasa bertanggung jawab untuk turut memelihara dan mendukung perkembangaan kebudayaan Sunda. Untuk itu, penerbitan majalah Cahara Bumi Siliwangi yang merupakan majalah ilmiah diharapkan dapat membantu mengomunikasikan bahasa Sunda dalam dunia pendidikan.

"Kita ingin membuat bahasa Sunda bukan hanya sekedar bahasa pergaulan sehari-hari, tapi juga dapat dipakai dalam bidang keilmuan, agar ke depannya para generasi muda dapat turut memberikan apresiasi untuk kebudayaan Sunda," imbuh pemimpin redaksi majalah tersebut, Dingding Haerudin kepada wartawan usai acara.

Dalam rangka promosi, majalah Cahara Bumi Siliwangi ini akan diterbitkan sebanyak 1.000 ekslempar yang akan dibagikan ke berbagai sekolah dan instansi di Jabar. Rencananya majalah ini akan diterbitkan 3 bulan sekali.

Saat ditanya mengenai respons masyarakat atas terbitnya majalah ini, Dingding mengaku optimis akan mendapatkan respons yang baik. Menurutnya majalah ini juga dapat membantu masyarakat agar tidak kehilangan identitas dirinya sebagai warga Jawa barat.

Demikian pula dengan kita, kita dapat melestarikan budaya kita ini dengan berbagai cara, seperti dengan menghargai dan menggunakan karya dalam negri dalam hal ini yaitu budaya sunda dan hasil karyanya, kemudian dengan terus melestarikan dan menjaga budaya ini jangan sampai dijiplak oleh negara lain.

Kebudayaan Ambon Maluku


Pulau Ambon adalah salah satu pulau yang ada di kepulauan Maluku atau provinsi maluku. Ambon merupakan ibukota propinsi Maluku yang berada di kawasan Maluku selatan.
Penduduk aslinya tinggal didaerah perbukitan atau perdalaman pulau tetapi penduduk pendatang yang datang dari bugis, makasar, button, dan jawa biasanya tinggal didaerah pinggir pantai.
Setiap pulau dengan pulau yang lain memiliki perbedaan kebudayaan atau adat istiadat, hal ini disebabkan oleh gejala “isolasi”. Misalnya orang Tobaru dan Sou saling tidak mengetahui bahasa satu sama lainnya, oleh sebab itu mereka terpaksa memakai bahasa pengantar Ternate. Setiap pulau yang ada di pulau maluku telah mengembangkan kebudayaannya sendiri. Meskipun kebudayaan mereka berbeda-beda tapi ada beberapa unsurnya yang sama.
Di Ambon desa dinamakan dengan negeri yang dikepalai oleh seorang Raja. Di dalam sebuah desa atau negeri terdapat beberapa perkampungan yang di pimpin oleh Aman. Di dalam sebuah perkampungan terdiri dari bagian kampung yang dipimpin oleh seorang Soa. Di dalam Soa terdapat beberapa rumah yang dipimpin oleh mata rumah. Pada zaman modern ini bentuk desa demikian telah mulai hilang. Karena sewaktu mereka pindah dari perdalaman ke dareah pesisir pantai kesatuan-kesatuan yang mereka adakan telah berpencar dan tidak menemukan satu sama lain.
Rumah-rumah yang biasa mereka tempati ialah rumah pangung. Rumah-rumah penduduk asli sangat berbeda dengan penduduk yang datang, masyarakat islam dan masyarakat nasrani yang tidak bertiang sejajar dengan tanah. Rumah kepala Soa biasanya selalu dibangun dengan megah dan indah ala perumahan Eropa.
Dalam system kemasyarakatan masyarakat Ambon mengambil system kekerabatan yang bersifat ke-Ayahan “Patrilineal”. Di dalam kekerabatan yang memegang peranan penting ada dua yaitu Mata rantai, mata rumah ini biasanya bertugas mengatur perkawinan warganya secara “Exogami” dan dalam hal mengatur penggunaan tanah-tanah “dati” tanah milik kerabat patrilineal.  Family, family merupakan kesatuan terkecil dalam mata rumah. Family ini berfungsi sebagai pengatur pernikahan klenya.
Perkawinan dalam masyarakat Ambon merupakan urusan mata rumah dan family. Di dalam masyarakat Ambon perkawinan di kenal dengan beberapa macam, diantaranya :
1.    Kawin minta ialah perkawinan yang terjadi apabila seorang pemuda telah menemukan seorang gadis yang akan dijadikan istri, maka pemuda in meminta pada mata rumah dan family untuk melamarnya. Sebelum acara pelamaran para mata rumah dan family mengadakan rapat adat satu klen dalam persiapan acara pelamaran.
2.    Kawin lari atau lari bini adalah system perkawinan yang paling lazim di lakukan oleh masyarakat Ambon. Hal ini di karenakan oleh masyarakat Ambon lebih suka jalan pendek, untuk menghindari prosedur perundingan dan upacara adat.
3.    Kawin masuk atau kawin menua yaitu perkawinan yang pengantin laki-lakinya tinggal di rumah pengantin perempuannya. Perkawinan ini terjadi apabila :
·         Kaum kerabat si pengantin tidak dapat membayar maskawin secara adat.
·         Penganten perempuan merupakan anak tunggal dalam keluarganya.
·         Karena ayah dari pengaten laki-laki tidak setuju dengan perkawinan tersebut
Agama yang dianut oleh masyarakat Ambon pada umumnya ialah Islam dan Nasrani. Meskipun masyarakat Ambon telah beragama Islam dan Nasrani tetapi sisa-sisa agama yang asli masih mereka anut. Mereka masih percaya akan adanya roh-roh yang harus dihormatidan diberi makanminum, dan tempat tinggal, agar tidak menganggu kehidupan manusia.
Acara adat yang berhubungan dengan religi ialah :
1. Masuk Baileu ( Rumah Adat masyarakat Ambon ), Untuk masuk baileu orang harus melakukan upacara lebih dahulu yaitu minta izin pada roh-roh yang ada di baileu. Dalam upacara ini, mauweng mengorbankan seekor sapi.
2. Cuci Negri, Di daerah jawa acara adat ini di kenal dengan bersih desa. Dalam acara ini semua penduduk di wajibkan membersihkan rumah, perkarangan, dan baileu. Upacara ini jika tidak dilakukan maka seluruh desa bias kejangkitan penyakit atau panennya gagal.
3. Kain Berkat, Sebuh tradisi dalam pernikahan masyarakat Ambon, yaitu pembayaran berupa kain putih dan minuman kerasa ( tuak ) oleh klen pengaten laki-laki kepada klen pengaten perempuan. Jika tidak dilakukan maka keluarga muda itu akan jadi sakit dan mati.
Organisasi-organisasi dalam system kemasyarakatan Ambon ialah :
1. Patalima dan Patasiwa, Patalima adalah sebuah organisasi yang didirikan oleh kaum alifuru dari barat. Patasiwa ialah sebauh organisasi yang didirikan oleh anggota Patalima yang pindah ke daerah timur Ambon.
2. Jojaro dan Ngungare, Jojaro ialah sebuah organisasi yang terdiri dari para pemudi yang belum menikah. Ngunare adalah sebuah organisasi yang terdiri dari para pemuda Ambon yang belum menikah.
3. Pela, Pela berasal dari kata "Pila" yang berarti "buatlah sesuatu untuk bersama". Sedangkan jika ditambah dengan akhiran -tu, menjadi "pilatu", artinya adalah menguatkan, usaha agar tidak mudah rusuh atau pecah. Tetapi juga ada yang menghubungkan kata pela ini dengan pela-pela yang berarti saling membantu atau menolong. Dengan beberapa pengertian ini, maka dapat dikatakana bahwa pela adalah suatu ikatan persaudaraan atau kekeluargaan antara dua desa atau lebih dengan tujuan saling membantu atau menolong satu dengan yang lain dan saling merasakan senasib penderitaan. Dalam arti bahwa senang dirasakan bersama begitupun susah dirasakan bersama (Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Maluku, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1977/1978, hlm 27). Ikatan pela ini diikat dengan suatu sumpah dan dilakukan dengan cara minum darah yang diambil dari jari-jari tangan yang dicampur dengan minuman keras lokal maupun dengan cara memakan sirih pinang.
Hubungan pela ini biasanya terjadi karena ada peristiwa yang melibatkan kedua kepala kampung atau desa, dalam rangka saling membantu dan menolong satu sama lain. Dalam ikatan pela ini memiliki serangkaian nilai dan aturan yang mengikat masing-masing pribadi yang tergabung dalam persekutuan persaudaraan atau kekeluargaan itu. Aturan itu antara lain adalah: tidak boleh menikah sesama pela atau saudara sekandung dalam pela. Jika hal ini dilakukan maka akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan atau terjadi hukuman bagi yang melanggaranya (op.cit., Cooley, hlm184).
Jenis-Jenis Pela
o  Pela Keras atau Pela Minum Darah. Disebabkan karena pela ini ditetapkan melalui sumpah para pemimpin leluhur kedua belah pihak dengan cara meminum darah yang diambil dari jari-jari mereka yang dicampur dengan minuman keras lokal dari satu gelas. Hal ini memateraikan sumpah persaudaraan untuk selama-lamanya. Pela ini biasanya atau umumnya adalah hasil dari keadaan perang. Artinya bahwa setelah kedua kapitan dari dua desa tersebut saling bertarung dan pada akhirnya tidak ada yang bisa saling mengalahkan, maka diangkat sumpah untuk mengakhiri permusuhan itu. Sumpah itu dimaksudkan untuk mengikat "persaudaraan darah" untuk selamanya. Sehingga dalam perkembangannya jika yang satu mereka susah atau memerlukan bantuan, maka yang lain harus membantu. Inilah komitmen yang sudah merupakan kewajiban ataupun keharusan.Semua warga dari desa-desa yang angka pela ini tidak terlepas dari tuntutan-tuntutan, antara lain : tidak boleh menikah, saling membantu dan memikul beban. Pela keras ini biasa disebut juga dengan pela tuni ataupun pela batu karang.
o  Pela Lunak atau Pela Tampa Sirih. Jenis pela ini tidak diikat dengan sumpah yang memaka idarah, tetapi hanya dengan memakan sirih pinang. Ikatan pela ini terjadi karena bertemu dalam situasi yang mengundang untuk saling membantu, misalnya pada saat terjadi angin rebut ada yang menolongnya. Ataupun juga pela jenis ini terbentuk melalui kegiatan masohi atau bantuan tenaga dari satu desapada desa lain. Pela ini tidaklah keras, karena tidak dilarang untuk menikah sesama pela.
o  Pela Ade Kaka. Pela jenis ini pada umumnya merupakan hasil pertemuan kembali antara adik-kakak yang bersaudara dimana tadinya berpencar dan telah membentuk kampung sendiri. Umumnyapela saudara ini berlangsung antara kampung-kampung yang beragama kristen dan Islam. Pela ini biasanya dikenal dengan nama Pela Gandong. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa walaupun ada berbagai jenis pela akan tetapi semuanya mempunyai hakekat yang satu, yaitu ikatan persaudaraan atau kekeluargaan yang berlangsung untuk selamanya karena diikat dengan sumpah darah.
Panas Pela adalah suatu kegiatan yang dilakukan setiap tahun antara desa yang telah sama-sama mengangkat sumpah dalam ikatan pela untuk mengenangkan kembali peristiwa angka pelayang terjadi pada awalnya. Selain itu juga kegiatan panas pela ini juga pada intinya adalah untuk lebih menguatkan, mengukuhkan hubungan persaudaraan dan kekeluargaan.
Pada hakikatnya pela telah mengandung unsur rekonsiliasi. Oleh karena dalam budaya pela itu sendiri dinyatakan bagaimana ikatan yang kuat dalam menjalin kedamaian ata kehidupan yang saling merasakan susah dan senang secara bersama. Akan tetapi dengan melihat situasi yang terjadi akhir-akhir ini yang menumbangkan ikatan pela oleh karena ikatan agama yang begitu kuat karena permainan politik yang menggunakan agama sebagai kendaraan, maka tidak dapat disangkal, pasti semua orang akan bertanya mengapa ikatan persaudaraan yang begitu kuat mengikat hubungan antara desa yang satu dengan yang lain, apalagi ikatan agama dapat runtuh.
Bahasa Melayu berasal dari Indonesia bagian barat (dulu disebut Nusantara bagian barat) dan telah berabad-abad menjadi bahasa antarsuku di seluruh kepulauan nusantara. Sebelum bangsa Portugis menginjakan kakinya di Ternate (Tahun 1512), bahasa Melayu telah ada di Maluku dan dipergunakan sebagai bahasa perdagangan.
Bahasa Melayu Ambon berbeda dari bahasa Melayu Ternate karena pada zaman dahulu suku-suku di Ambon dan yang tentunya mempengaruhi perkembangan bahasa Melayu Ambon sangat berbeda dari suku-suku yang ada di Ternate. Setelah bahasa Indonesia baku mulai diajarkan di sekolah-sekolah di Maluku, maka ia mulai mempengaruhi bahasa Melayu Ambon sehingga sejumlah kata diserap dari bahasa Indonesia baku ke dalam bahasa Melayu setempat, tentu saja disesuaikan dengan logat setempat. Sedangkan kebanyakan masyarakat Muslim Ambon masih mempunyai bahasa daerah sendiri yang disebut bahasa tanah.
Struktur Bahasa Melayu Ambon ini juga agak berbeda dengan Melayu pada umumnya, namun lazim di Indonesia Timur. Struktur bahasanya sangat mirip dengan bahasa-bahasa di Eropa. Seperti ini (kepemilikan) : Beta pung buku = Buku saya = My book, Susi pung kaka = Kakak susi = Susi's brother/sister, Ahmad ada pi ka Tulehu = Ahmad sedang pergi ke Tulehu, Ada orang dapa bunuh di kusu-kusu = ada orang dibunuh di Alang-alang, Katong jaga tinggal disini sa = kami tetap tinggal disini saja
Kemudian lafal juga mengalami nasalisasi terutama pada akhiran 'n'. Seperti berikut : makang (makan), badiang (diam), jang (jangan), ikang (ikan), lawang (lawan)  dan sebagainya. Untuk kata ganti orang adalah sebagai berikut : Beta (saya), ose (kamu) (dibeberapa daerah dikatakan 'os', atau 'se') - asal dari kata 'voce' Portugis, dia, katong (kependekan dari kita orang/ kita), dorang (kependekan dari dia orang /atau mereka), kamong atau kamorang (kamu orang/ kalian).
Di ambon juga ada panggilan sosial seperti : Babang/ abang (kakak laki-laki : dipakai kalangan Muslim), Caca (kakak perempuan: Muslim), Usy (kakak perempuan Kristen), Broer/ bung/ bu (kakak laki-laki dipakai kalangan Kristen), Nyong (netral), Bapa Raja (kepala desa)
Pattimura(atau Thomas Matulessy) (lahir di HualoySeram SelatanMaluku8 Juni 1783 – meninggal di AmbonMaluku16 Desember 1817 pada umur 34 tahun), juga dikenal dengan nama Kapitan Pattimura adalah pahlawan Ambondan merupakan Pahlawan nasional Indonesia.

Kebudayaan Toraja

ALUK TODOLO, KEPERCAYAAN SUKU TORAJA

tarian-manganda.jpg

Aluk Todolo atau Alukta adalah aturan tata hidup yang telah dimiliki sejak dahulu oleh masyarakat Suku Toraja, Sulawesi Selatan. Aturan tata hidup tersebut berkenaan dengan sistem pemerintahan, sistem kemasyarakatan, dan sistem kepercayaan.
Dalam hal keyakinan, penduduk Suku Toraja percaya kepada satu Dewa yang tunggal. Dewa yang tunggal itu disebut dengan istilah Puang Matua (Tuhan yang maha mulia). Meski begitu, penganut Aluk Todolo relatif terbuka terhadap modernisasi dan dunia luar. Mereka meyakini, aturan yang dibuat leluhurnya akan memberikan rasa aman, mendamaikan, menyejahterakan, serta memberi kemakmuran warga.
Walau terbuka bagi agama luar, warga sepakat, yang telah menganut selain Aluk Todolo wajib keluar dari Dusun Kanan. Tentu saja mereka tetap boleh berkunjung ke sana, tapi tak dapat tinggal lama.
Di luar penganut Aluk Todolo, sekalipun bangsawan dan memiliki banyak uang, mereka tidak boleh dimakamkan dengan ritual pa'tomate, upacara penguburan jenazah khas dusun. Penganut Aluk Todolo menjunjung tinggi kebenaran dan kejujuran. Mereka begitu tegas menerapkan aturan leluhur. Berani melanggar berarti bakal menyengsarakan warga dusun, misalnya mendatangkan petaka gagal panen. Semua kesalahan dan kecurangan berhadapan dengan hukum dan hal itu berlaku bagi semua, termasuk keluarga dekat, saudara jauh, atau pendatang.
Dalam mitos Toraja, leluhur orang Toraja datang dari surga dengan menggunakan tangga yang kemudian digunakan oleh suku Toraja sebagai cara berhubungan dengan Puang Matua, dewa pencipta. Alam semesta, menurut kepercayaan Aluk Todolo, dibagi menjadi dunia atas (surga) dunia manusia (bumi), dan dunia bawah. Pada awalnya, surga dan bumi menikah dan menghasilkan kegelapan, pemisah, dan kemudian muncul cahaya.
Dewa-dewa Toraja lainnya adalah Pong Banggai di Rante (Dewa Bumi), Indo' Ongon-Ongon (Dewi Gempa Bumi), Pong Lalondong (Dewa Kematian), Indo' Belo Tumbang (Dewi Pengobatan), dan lainnya.
Hewan tinggal di dunia bawah. Dilambangkan dengan tempat berbentuk persegi panjang yang dibatasi oleh empat pilar. Bumi adalah tempat bagi umat manusia, dan surga terletak di atas, ditutupi dengan atap berbetuk pelana.
Di dalam menjalankan ritualnya, Aluk Todolo mengenal dua macam yaitu: Upacara kedukaan disebut Rambu Solok dan Rambu Tuka sebagai upacara kegembiraan. Upacara Rambu Solok meiliputi tujuh tahapan, yaitu: Rapasan, Barata Kendek, Todi Balang, Todi Rondon, Todi Sangoloi, Di Silli, dan Todi Tanaan. Sementara itu, upacara Rambu Tuka pun meliputi tujuh tahapan, yaitu; Tananan Bua’, Tokonan Tedong, Batemanurun, Surasan Tallang, Remesan Para, Tangkean Suru, Kapuran Pangugan.
To minaa adalah pendeta Aluk Todolo yang dianggap sebagai pemegang kekuasaan di bumi yang kata-kata dan tindakannya harus dipegang baik dalam kehidupan pertanian maupun dalam upacara pemakaman.
Kepercayaan Aluk Todolo bukan hanya sistem keyakinan, tetapi juga merupakan gabungan dari hukum, agama, dan kebiasaaan. Aluk Todolo mengatur kehidupan bermasyarakat, praktik pertanian, dan ritual keagamaan. Tata cara Aluk Todolo bisa berbeda antara satu desa dengan desa lainnya. Satu hukum yang umum adalah peraturan bahwa ritual kematian dan kehidupan harus dipisahkan. Suku Toraja percaya bahwa ritual kematian akan menghancurkan jenazah jika pelaksanaannya digabung dengan ritual kehidupan. Kedua ritual tersebut sama pentingnya.
Aluk Todolo pernah menjadi tali pengikat masyarakat toraja yang begitu kuat, bahkan menjadi landasan kesatuan sang torayan yang sangat kokoh sehingga kemanapun orang toraja pergi akan selalu ingat kampung halaman, dan rindu untuk kembali kesana. Ikatan batin yang Sangtorayan yang begitu kokoh tentu saja antara lain adalah buah-buah dari tempaan Aluk Todolo itu. Karena itu kita patut prihatin bila aluk todolo itu kini nyaris lenyap diterpa arus dunia modern. Maka mari kita pikirkan bersama warisan leluhur yang begitu berharga ini.

Jumat, 17 April 2015

Suku Sentinel

Sentinel, Suku Terasing nan Ganas Hingga Abad Modern

Di antara Sumatera dan India (Bangladesh serta Myanmar), terletak kepulauan Andaman yang sempat menarik perhatian Jack Johnson membuat film tentangnya. Ia memang seorang sinematografer, sebelum akhirnya terkenal sebagai musisi/penyanyi dengan sederet lagu populer seperti "I Got You", "Escape", dan banyak lagi.

Yang menarik dari Kepulauan Andaman bukanlah karena film Jack Johnson hingga menarik minat wisatawan, khususnya peselancar. Di kepulauan yang terdiri atas 5 etnis tersebut, satu di antaranya masih jadi misteri. Merekalah kaum Sentinel, yang terisolir dan menolak kedatangan orang asing ke pulau mereka.

Dokumen Arab dan Persia berabad lampau melaporkan bahwa pulau-pulau Andaman dihuni oleh suku-suku ganas. Kemudian penjelajah India dan Eropa menjauhi pulau-pulau ini untuk menghindari suku-suku yang ganas ini.

Bahkan Marco Polo menyebut mereka "Masarakat yang paling keras dan kejam yang tampaknya memakan semua orang yang mereka tangkap".

Suku Sentinel, merupakan penduduk pulau bagian Utara Sentinel kecil, adalah satu-satunya suku yang tersisa di rantai Andaman yang mampu mempertahankan isolasi mereka.


Sejak tahun 1967 pemerintah India telah berusaha untuk melakukan kontak dan mengajak damai dengan Sentinel dibawah naungan penelitian antropologi . "Ekspedisi Kontak" ini terdiri dari serangkaian kunjungan dengan membawa makanan seperti kelapa dan barang-barang yang diperkirakan dibutuhkan oleh suku Sentinel, dengan tujuan untuk membujuk agar suku Sentinel agar menghilangkan adat permusuhan mereka kepada orang luar. Hampir semua upaya ini disambut dengan hujan anak panah dan batu.
Kapal nelayan yang direbut suku Sentinel dilansir Telegraph 2006

Sebuah laporan di tahun 2006 menyebut para pemanah suku Sentinel berhasil menewaskan dua orang nelayan dan merebut kapalnya, setelah dua nelayan tersebut melakukan aktifitas di bagian dalam pulau tersebut. Suku ini juga mengusir sebuah helikopter yang akan mengambil kedua jenazah nelayan tersebut dengan menghujani anak panah.

Sampai saat ini tidak ada upaya yang sangat terencana untuk memasuki pulau tersebut. Bahkan akses untuk menuju ke pulau tersebut dilarang keras, karena dikhawatirkan akan memakan korban jiwa lagi.























Kamis, 16 April 2015

Suku Togutil di Halmahera


Berawal dari maksud mencari rempah-rempah, tanah Maluku yang terkenal akan cengkeh dan pala menjadi incaran bangsa Eropa yang lalu berlomba-lomba datang untuk menguasainya.

Pada tahun 1546, Portugis mulai menyisir setiap pantai dan pulau yang ada di bumi Maluku Utara. Teluk Galela tidak ketinggalan. Tahun 1570 Sultan Khairun diracuni oleh Portugis saat sedang melangsungkan perundingan. Putranya, Sultan Babullah bersumpah untuk mengusir Portugis keluar dari benteng-benteng mereka dan secara gencar mengincar dan mengempur setiap kubu pertahanan portugis termasuk yang terdapat di Mamuya yang tidak tercatat dalam sejarah.

Peristiwa ini banyak memakan korban di pihak Portugis. Bantuan kapal yang datang juga tidak lepas dari incaran. Salah satu kapal besar yang berlayar menyusuri kali Tiabo, pada waktu itu sebagian lembah Galela masih tergenang air, akhirnya karam di daerah Dokulamo yang berada pada posisi 3 Km dari kali Tiabo dan 9 km dari tepi pantai. Saksi mata sekaligus pemilik lahan, Alm. Yulianus Senyenyi, pernah berkisah bahwa ketika dirinya sedang mengolah lahannya dirinya menemukan bangkai kapal berukuran panjang 30 depa atau sekitar 45 meter dan lebar 9 depa (15 meter).

Sayangnya rongsokan bangkai kapal tersebut habis dimakan karat dan sebagian besar besinya telah diangkut hingga tidak tersisa lagi. Tempatnya karam bahkan saat ini sudah ditanami kelapa. Daerah tersebut oleh penduduk desa Dokulamo dinamakan daerah Kakapal.

Kapal Portugis tersebut masuk ke hulu Tiabo untuk menghindari pengejaran pasukan Korakora Sultan Ternate. Sayangnya mereka bernasib sial karena meskipun berhasil meluputkan diri namun pasukan Alifuru di pedalaman Galela telah menanti. Pertempuran pun tak dapat dielakkan lagi.

Pada serangan pertama, pasukan Portugis dengan senjata apinya berhasil memakan banyak korban di pihak Alifuru. Hal ini memaksa pihak Alifuru untuk mundur sembari mengatur kekuatan dan siasat tempur baru.

Serangan kedua pun dilakukan, namun kali ini tidak lagi menggunakan kekuatan fisik dan kontak senjata. Pasukan Alifuru menggunakan lebah sebagai kekuatan untuk melumpuhkan musuh. Serangan ini membuat pasukan Portugis yang berada baik di kapal maupun di darat menjadi kalang kabut ketika kawanan lebah datang dari berbagai arah untuk menyerang mereka.

Sengatan lebah-lebah ini ternyata menimbulkan banyak korban di pihak Portugis. Upaya penyelamatan dilakukan dengan api dan belerang serta serangan balik dengan tembakan yang membabibuta, membuat pasukan Alifuru mundur dan menghindar dari peluru-peluru nyasar. Mundurnya pasukan Alifuru digunakan oleh Portugis untuk segera meninggalkan kapal dan daerah Dokulamo menuju arah selatan. Mereka bermukim di daerah Gunung Hum dan kemudian menamakan daerah tersebut Rum yang mengisyaratkan bahwa daerah itu adalah tempat tinggal orang-orang yang berasal dari Rumawi.

Orang-orang Portugis di daerah Hum/Rum tidak dapat tinggal dengan tenang dikarenakan orang-orang Galela sering mengusik ketentraman mereka. Mereka pun kemudian memilih hijrah ke daerah Tobelo dengan menepati bebukitan Karianga arah selatan daerah Wangongira, Kusuri, lembah Kao, batang sungai kali Jodo menuju arah Tetewang. Perpindahan ini mempertemukan mereka dengan sesama bangsanya yang bernasib serupa di sekitar Pasir Putih yang kapalnya karam.

Sebagian dari mereka menetap dan menyatu dengan masyarakat setempat. Untuk menghilangkan jejak sebagai orang Portugis mereka pun belajar bahasa Tobelo dan berusaha keras menghilangkan aksen bahasanya. Mereka kemudian hidup bergaul dengan orang Tobelo dan Kao yang pada akhinya membuat kebanyakan orang Togutil berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Tobelo Boeng dan Modole. Upaya-upaya ini dilakukan untuk menghindari kejaran pasukan Ternate dan Alifuru terhadap sisa-sisa orang Portugis di Maluku Utara yang lari ke hutan.

Pada perkembangannya, orang-orang Portugis ini kemudian hidup dengan cara berpindah-pindah ke daerah yang mereka anggap lebih aman sambil tetap berkembang biak. Populasi mereka diketahui menempati hutan di selatan Halmahera Utara sampai ke hutan Wasilei di Halmahera Timur. Mereka senang tinggal ditepian sungai. Rumah mereka terbuat dari kayu bulat beratapkan daun rumbia atau daun woka tanpa dinding. Pola makan mereka adalah dengan menyantap makanan mentah atau dimasak dengan cara dibakar dengan bambu. Air kebanyakan mereka minum langsung dari sungai.

Perawakan suku Togutil yang belum kawin campur adalah seperti orang Portugis pada umumnya. Mereka berperawakan tinggi besar, berkulit putih dan berhidung mancung. Anak-anak perempuan mereka cantik-cantik dengan bola mata yang berwarna bening-keabuan. Pola hidup mereka masih sangat bergantung pada hasil alam. Makan dari buah-buahan, umbi-umbian, pucuk-pucuk daun muda dan dari hasil buruan binatang hutan dan ikan sungai.

Ketergantungan mereka pada alam membuat mereka memiliki pola hidup nomaden. Setelah persediaan umbi-umbian dan buah-buahan serta hewan menjadi berkurang mereka akan berpindah ke daerah baru. Demikianlah sehingga mereka kemudian dikenal sebagai pemilik hutan Halmahera mengingat merekalah yang pertama menjelajahi dan menempati hutan Halmahera.

Pola hidup suku Togutil yang sudah berbaur dengan masyarakat dapat dilihat dari kemampuan mereka dalam bercocok tanam umbi-umbian dan buah-buahan serta tanaman tahunan sehingga hidupnya tidak lagi berpindah-pindah tempat. Mereka juga sudah dapat menggunakan alat-alat pertanian dan berbusana dengan baik.

Suku Togutil kini bukanlah suku terasing tapi lebih merupakan suku asli penghuni rimba Halmahera. Butuh perhatian, kepedulian dari berbagai pihak untuk mengangkat harkat dan martabat hidup mereka layaknya masyarakat Halmahera lainnya. Caranya bukan dengan membangun perumahan bagi mereka di tepian pantai dan lalu memaksa mereka keluar dari hutan sehingga kita dapat merampok semua kekayaan hutan yang telah mereka tinggalkan tanpa mempertimbangkan sebab akibat.



Rumah yang dibangun akan tetap menjadi kosong karena pada dasarnya mereka bukanlah orang pesisir. Hutan adalah istana hidup sedangkan pesisir pantai adalah petaka hidup bagi mereka yang disebut Togutil.